Beberapa waktu lalu ada seorang
pria setengah baya bercerita padaku tentang anak perempuannya yang belum
beruntung masuk universitas ternama pilihannya. Dia bilang padaku, itu terjadi
karena anaknya memilih fakultas yang sulit dan elit. Katanya lagi, padahal ia
sudah menyarankan anaknya untuk memilih fakultas yang gampang-gampang saja
supaya gampang lulus ujian masuk, yaitu fakultas hukum. Aku terkekeh
mendengarnya, kemudian aku manggut-manggut.
Aku pikir, bapak ini mungkin ada
benarnya juga, fakultas hukum memang tidak elit, untuk bisa lulus dari sana
juga tidak sulit. Aku pikir lagi, sebenarnya yang sulit dan elit itu setelah
menjadi lulusan fakultas hukum (#ciyee). Pas orang tahu di belakang namamu ada
huruf SH yang mengikuti, orang pikir kamu paham segala hal, paham apa risiko macam-macam
tindakan dan paham apa solusi untuk segala tindakan (#lebay). Jadinya, kalau
ada orang adu jotos, ada sekelompok bebek pingsan karena diduga diracuni oleh
sekelompok orang secara sistematis, ada pasangan batal nikah, ada macam-macam
tindakan aneh, kamu selalu diminta datang untuk membereskan setelah segala
upaya gagal. Pasti orang-orang yang terlibat bertanya padamu, “bagaimana ini
kalau kita proses secara hukum?”.
Pastinya bakal banyak orang yang
pengen curhat sama kamu untuk minta pendapat. Kamu ngga punya pilihan selain
(1) memberi pendapat atau (2) dianggap lulusan “hukum-hukuman”. Memangnya ada
yang peduli kamu konsentrasi hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang atau
hukum rimba? Ngga ada. Semua orang tahunya kamu SH dan kamu harus bisa
memberikan legal opinion untuk berbagai kasus. Kalau kamu ngga tahu harus berpendapat apa,
kamu tetap harus menjawab. Itulah kenapa semua SH harus punya soft-skill
sampingan yaitu, “jago sepik-sepik”.
Hukum kadang membuatmu menjadi
kejam atau membuatmu menjadi korban kekejaman hukum itu sendiri. Kadang kamu
harus “membuat hukum” atau menegakan hukum sambil membungkam hati nurani. Kamu juga
bakal jadi orang pertama dan yang paling parah di caci maki kalau kamu ketahuan
melanggar hukum (#kasian deh yu).
Orang-orang semacam terdakwa
kasus korupsi juga paling pengen kenalan sama kamu, karena mereka tahu kamu
tahu celahnya untuk meringankan hukuman mereka atau bahkan membebaskan mereka. Mereka
siap membayar kamu supaya kamu membacakan teori-teori hukum yang bisa
menyelamatkan mereka. Profesi di bidang hukum, apapun itu akan berkaitan dengan
hak bahkan kehidupan orang lain. Salah sedikit, orang yang menderita sedikit. Salah
banyak, semakin banyak yang menderita.
Kalau mau hidup kaya dan lurus,
hampir ngga mungkin kalau bermodalkan ilmu hukum saja. Semakin lurus, semakin
banyak yang pengen membengkokanmu. Semakin kamu kaya, semakin banyak yang
berprasangka kalau pekerjaanmu pasti “pedagang hukum” atau “pebisnis hukum”. Padahal
dalam hukum, 1 tambah 1 bisa jadi bukan 2, tapi 10. Jadi memprediksi prospek “bisnis
hukum” dan “perdagangan hukum” cukup
sulit. Tidak ada juga lembaga asuransi yang mau menerima pengalihan risiko
ketika kamu merugi saat “berbisnis hukum”.
Loh, jadi aku mesti bagaimana
untuk mengomentari curhatan sang bapak. Aku bilang saja, “saran bapak sudah
tepat pak. Bersenang-senang dahulu, bersusah-susah kemudian”. Terus jidat si
bapak berkerut-kerut, aku terkekeh lagi deh (#kabuur).
(Tulisan iseng, subyektif dan
bisa jadi fiktif belaka. Tidak ada tendensi negatif, jangan diambil hati).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar