Kamis, 11 Desember 2014

Halo, Sarjana Hukum!




Beberapa waktu lalu ada seorang pria setengah baya bercerita padaku tentang anak perempuannya yang belum beruntung masuk universitas ternama pilihannya. Dia bilang padaku, itu terjadi karena anaknya memilih fakultas yang sulit dan elit. Katanya lagi, padahal ia sudah menyarankan anaknya untuk memilih fakultas yang gampang-gampang saja supaya gampang lulus ujian masuk, yaitu fakultas hukum. Aku terkekeh mendengarnya, kemudian aku manggut-manggut. 

Aku pikir, bapak ini mungkin ada benarnya juga, fakultas hukum memang tidak elit, untuk bisa lulus dari sana juga tidak sulit. Aku pikir lagi, sebenarnya yang sulit dan elit itu setelah menjadi lulusan fakultas hukum (#ciyee). Pas orang tahu di belakang namamu ada huruf SH yang mengikuti, orang pikir kamu paham segala hal, paham apa risiko macam-macam tindakan dan paham apa solusi untuk segala tindakan (#lebay). Jadinya, kalau ada orang adu jotos, ada sekelompok bebek pingsan karena diduga diracuni oleh sekelompok orang secara sistematis, ada pasangan batal nikah, ada macam-macam tindakan aneh, kamu selalu diminta datang untuk membereskan setelah segala upaya gagal. Pasti orang-orang yang terlibat bertanya padamu, “bagaimana ini kalau kita proses secara hukum?”. 

Pastinya bakal banyak orang yang pengen curhat sama kamu untuk minta pendapat. Kamu ngga punya pilihan selain (1) memberi pendapat atau (2) dianggap lulusan “hukum-hukuman”. Memangnya ada yang peduli kamu konsentrasi hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang atau hukum rimba? Ngga ada. Semua orang tahunya kamu SH dan kamu harus bisa memberikan legal opinion untuk berbagai kasus.  Kalau kamu ngga tahu harus berpendapat apa, kamu tetap harus menjawab. Itulah kenapa semua SH harus punya soft-skill sampingan yaitu, “jago sepik-sepik”. 



Hukum kadang membuatmu menjadi kejam atau membuatmu menjadi korban kekejaman hukum itu sendiri. Kadang kamu harus “membuat hukum” atau menegakan hukum sambil membungkam hati nurani. Kamu juga bakal jadi orang pertama dan yang paling parah di caci maki kalau kamu ketahuan melanggar hukum (#kasian deh yu). 

Orang-orang semacam terdakwa kasus korupsi juga paling pengen kenalan sama kamu, karena mereka tahu kamu tahu celahnya untuk meringankan hukuman mereka atau bahkan membebaskan mereka. Mereka siap membayar kamu supaya kamu membacakan teori-teori hukum yang bisa menyelamatkan mereka. Profesi di bidang hukum, apapun itu akan berkaitan dengan hak bahkan kehidupan orang lain. Salah sedikit, orang yang menderita sedikit. Salah banyak, semakin banyak yang menderita. 

Kalau mau hidup kaya dan lurus, hampir ngga mungkin kalau bermodalkan ilmu hukum saja. Semakin lurus, semakin banyak yang pengen membengkokanmu. Semakin kamu kaya, semakin banyak yang berprasangka kalau pekerjaanmu pasti “pedagang hukum” atau “pebisnis hukum”. Padahal dalam hukum, 1 tambah 1 bisa jadi bukan 2, tapi 10. Jadi memprediksi prospek “bisnis hukum”  dan “perdagangan hukum” cukup sulit. Tidak ada juga lembaga asuransi yang mau menerima pengalihan risiko ketika kamu merugi saat “berbisnis hukum”. 

Loh, jadi aku mesti bagaimana untuk mengomentari curhatan sang bapak. Aku bilang saja, “saran bapak sudah tepat pak. Bersenang-senang dahulu, bersusah-susah kemudian”. Terus jidat si bapak berkerut-kerut, aku terkekeh lagi deh (#kabuur). 

(Tulisan iseng, subyektif dan bisa jadi fiktif belaka. Tidak ada tendensi negatif, jangan diambil hati).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar