Saya kira pengumuman pemenang pemilihan umum presiden Indonesia tahun 2014 ini akan jadi klimaks dari perseteruan pendukung dua calon presiden, eh ternyata malah semakin menjadi-jadi setelahnya. Sebagian pendukung (entah mendukung apa atau siapa) ribut riuh membahana, memandang sebelah mata dan mengejek keberadaan "kartu-kartu sakti" yang diberikan oleh Presiden untuk masyarakat kalangan ekonomi lemah.
Kuping dan mata saya terasa panas sekali tiap mendengar atau membaca kicauan dan pendapat "miring" dari pendukung-pendukung itu. Kalau kata saya sih, jangan lah terlalu meributkan adanya "kartu-kartu sakti", sampai-sampai kalian lupa hakikat adanya kartu itu. Kartu Tanda Penduduk (KTP) juga cuma kartu, Kartu ATM juga kartu, Ijazah cuma selembar kertas, Buku Nikah malah cuma lembaran-lembaran kertas kecil, tapi apa sih sebenarnya hakikat dan manfaat adanya benda-benda ini? hakikat dan manfaatnya jauh lebih besar dari sekedar harga atau bentuk fisiknya, karena ia adalah perwujudan dari komitmen, jaminan, tanggung jawab dan pembuktian bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Kalau tidak percaya juga, ya sudah, buang atau robek saja kartu dan lembaran-lembaran itu. Bedakan implikasinya ketika benda-benda itu ada dan ketika ia tak ada. Bagaimana rasanya?
Kepanjangan NKRI dari Negara Kesatuan Republik Indonesia diubah oleh oknum-oknum menjadi Negara Kartu Republik Indonesia juga bisa dimaklumi lah, karena tak semua orang menghargai dalamnya makna "kesatuan" dan hakikat "kartu". A day to remember ini mendorong saya untuk berpesan, "berhentilah mengejek kulit manggis yang gelap dan keras, sampai-sampai lupa kalau kulit manggis sebenarnya adalah kabar gembira untuk kita semua".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar