Rabu, 26 November 2014

Negara Kartu Republik Indonesia (NKRI)

Saya kira pengumuman pemenang pemilihan umum presiden Indonesia tahun 2014 ini akan jadi klimaks dari perseteruan pendukung dua calon presiden, eh ternyata malah semakin menjadi-jadi setelahnya. Sebagian pendukung (entah mendukung apa atau siapa) ribut riuh membahana, memandang sebelah mata dan mengejek keberadaan "kartu-kartu sakti" yang diberikan oleh Presiden untuk masyarakat kalangan ekonomi lemah. 

Kuping dan mata saya terasa panas sekali tiap mendengar atau membaca kicauan dan pendapat "miring" dari pendukung-pendukung itu. Kalau kata saya sih, jangan lah terlalu meributkan adanya "kartu-kartu sakti", sampai-sampai kalian lupa hakikat adanya kartu itu. Kartu Tanda Penduduk (KTP) juga cuma kartu, Kartu ATM juga kartu, Ijazah cuma selembar kertas, Buku Nikah malah cuma lembaran-lembaran kertas kecil, tapi apa sih sebenarnya hakikat dan manfaat adanya benda-benda ini? hakikat dan manfaatnya jauh lebih besar dari sekedar harga atau bentuk fisiknya, karena ia adalah perwujudan dari komitmen, jaminan, tanggung jawab dan pembuktian bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Kalau tidak percaya juga, ya sudah, buang atau robek saja kartu dan lembaran-lembaran itu. Bedakan implikasinya ketika benda-benda itu ada dan ketika ia tak ada. Bagaimana rasanya?

Kepanjangan NKRI dari Negara Kesatuan Republik Indonesia diubah oleh oknum-oknum menjadi Negara Kartu Republik Indonesia juga bisa dimaklumi lah, karena tak semua orang menghargai dalamnya makna "kesatuan" dan hakikat "kartu". A day to remember ini mendorong saya untuk berpesan, "berhentilah mengejek kulit manggis yang gelap dan keras, sampai-sampai lupa kalau kulit manggis sebenarnya adalah kabar gembira untuk kita semua". 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar